Terjadinya
Sengketa Ekonomi Syari’ah
Secara rinci, dapat dikemukakan mengenai
bentuk-bentuk sengketa bank syari’ah yang disebabkan karena adanya pengingkaran
atau pelanggaran terhadap perikatan (akad) yang telah dibuat, yaitu disebabkan
karena:
1.
Kelalaian Bank untuk mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad
wadi’ah
2. Bank
mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan dalam
akad mudlorobah
3.
Nasabah melakukan kegiatan usaha minuman keras dan usaha-usaha lain yang
diharamkan menurut syari’at Islam yang bersumber dari dana pinjaman bank
syari’ah, akad qirah dan lain-lain
4.
Pengadilan agama berwenang menghukum kepada pihak nasabah atau pihak
bank yang melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real lose).
Secara garis besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
a.
Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya,
b.
Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syari’ah,
c.
Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang-orang yang beragama
Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan
usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk
perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu
juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara
kepailitan)
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
1.
Perdamaian(Sulhu)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak
menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat
perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak
untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam
menyelesaikan segala persoalan.
Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui
musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang
berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syari’at,
diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.
2.
Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara
damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri
dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai
wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang
berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk
menangani perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
3.
Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)
Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang
perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan
besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan
mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syari’ah (pasal49). Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang
timbul terkait dengan penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan
melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat
diselesaikan melalui lembaga peradilan (qadha).
0 komentar:
Posting Komentar