Senin, 03 April 2017

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Terjadinya Sengketa Ekonomi Syari’ah
Secara rinci, dapat dikemukakan mengenai bentuk-bentuk sengketa bank syari’ah yang disebabkan karena adanya pengingkaran atau pelanggaran terhadap perikatan (akad) yang telah dibuat, yaitu disebabkan karena:
1.      Kelalaian Bank untuk mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad wadi’ah
2.      Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan dalam akad mudlorobah
3.      Nasabah melakukan kegiatan usaha minuman keras dan usaha-usaha lain yang diharamkan menurut syari’at Islam yang bersumber dari dana pinjaman bank syari’ah, akad qirah dan lain-lain
4.      Pengadilan agama berwenang menghukum kepada pihak nasabah atau pihak bank yang melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real lose).
Secara garis besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
a.       Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya,
b.      Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah,
c.       Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara kepailitan)

  Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
1.      Perdamaian(Sulhu)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan.
Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.

2.      Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

3.      Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)

Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49). Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait dengan penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan (qadha).

0 komentar:

Posting Komentar

 

Catatan Kecil Template by Ipietoon Cute Blog Design