Selasa, 19 April 2016

PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB), PERTUMBUHAN DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI

Dhea Oktavianda (21215807)

Tiara Fahlevie (26215886)



Produk Domestik Bruto
Dalam perekonomian suatu negara terdapat suatu indikator yang digunakan untuk menilai apakah perekonomian berlangsung dengan baik atau buruk. Indikator dalam menilai perekonomian tersebut harus dapat digunakan untuk mengetahui total pendapatan yang diperoleh semua orang dalam perekonomian. Indikator yang pas dan sesuai dalam melakukan pengukuran tersebut adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Selain itu, PDB juga mengukur dua hal pada saat bersamaan : total pendapatan semua orang dalam perekonomian dan total pembelanjaan negara untuk membeli barang dan jasa hasil dari perekonomian. Alasan PDB dapat melakukan pengukuran total pendapatan dan pengeluaran dikarenakan untuk suatu perekonomian secara keseluruhan, pendapatan pasti sama dengan pengeluaran. Pengertian dari PDB adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa akhir (final) yang diproduksi dalam sebuah negara pada suatu periode. Namun, dalam PDB terdapat beberapa hal yang tidak disertakan seperti nilai dari semua kegiatan yang terjadi di luar pasar, kualitas lingkungan dan distribusi pendapatan. Oleh sebab itu, PDB per kapita yang merupakan besarnya PDB apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk di suatu negara merupakan alat yang lebih baik yang dapat memberitahukan kita apa yang terjadi pada rata – rata penduduk, standar hidup dari warga negaranya(Mankiw,2006:5,6,22,23).
Produk Domestik Bruto atau GDP (Gross Domestic Product) merupakan statistika perekonomian yang paling diperhatikan karena dianggap sebagai ukuran tunggal terbaik mengenai kesejahteraan masyarakat. Hal yang mendasarinya karena PDB mengukur dua hal pada saat bersamaan : total pendapatan semua orang dalam perekonomian dan total pembelanjaan negara untuk membeli barang dan jasa hasil dari perekonomian. Alasan PDB dapat melakukan pengukuran total pendapatan dan pengeluaran dikarenakan untuk suatu perekonomian secara keseluruhan, pendapatan pasti sama dengan pengeluaran(Mankiw,2006:5).
Kita dapat menghitung PDB perekonomian dengan menggunakan salah satu dari dua cara : menambahkan semua pengeluaran rumah tangga atau menambahkan semua pendapatan (upah, sewa dan keuntungan) yang dibayar perusahaan. Namun, dalam hal ini yang terpenting adalah tahu mengenai fungsi PDB dalam perekonomian, apa yang dapat diukur dan yang tidak, komponen dan jenis serta hubungan PDB dengan kesejahteraan. Dalam hal pengukuran, PDB mencoba menjadi ukuran yang meliputi banyak hal, termasuk di dalamnya adalah barang – barang yang diproduksi dalam perekonomian dan dijual secara legal di pasaran. PDB juga memasukkan nilai pasar dari jasa perumahan pada perekonomian. PDB meliputi barang yang dapat dihitung (makanan, pakaian, mobil) maupun jasa yang tidak dapat dihitung (potong rambut, pembersihan rumah, kunjungan ke dokter). PDB mengikutsertakan barang dan jasa yang sedang diproduksi. PDB mengukur nilai produksi dalam batas geografis sebuah negara. PDB mengukur nilai produksi yang terjadi sepanjang suatu interval waktu. 14 Biasanya, interval tersebut adalah setahun atau satu kuartal (tiga bulan). PDB mengukur aliran pendapatan dan pengeluaran dalam perekonomian selama interval tesebut. Sedangkan hal – hal yang tidak dapat diukur oleh PDB yaitu PDB mengecualikan banyak barang yang diproduksi dan dijual secara gelap, seperti obat – obatan terlarang. PDB juga tidak mencakup barang – barang yang tidak pernah memasuki pasar karena diproduksi dan dikonsumsi dalam rumah tangga(Mankiw,2006:7-10).
Setelah mengetahui apa yang dapat dan tidak diukur dengan PDB, selanjutnya kita harus mengetahui komponen – komponen dari PDB. PDB (yang ditunjukkan sebagai Y) dibagi atas empat komponen : konsumsi (c), investasi (I), belanja negara (G), dan ekspor neto (NX): Y = C + I + G + NX Persamaan ini merupakan persamaan identitas – sebuah persamaan yang pasti benar dilihat dari bagaimana variabel - variabel persamaan tersebut dijabarkan. Komponen tersebut ialah :
1. Konsumsi (consumption) adalah pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tangga.
2. Investasi (investment) adalah pembelian barang yang nantinya akan digunakan untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa
3. Belanja pemerintah (government purchases) mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah, negara bagian, dan pusat (federal).
4. Ekspor neto (net exports) sama dengan pembelian produk dalam negeri oleh orang asing (ekspor) dikurangi pembelian produk luar negeri oleh warga negara (impor) 15 (Mankiw,2006:11-13).
Berikutnya, ketika kita mempelajari perubahan perekonomian seiring berlalunya waktu, ekonom ingin memisahkan dua pengaruh (perekonomian menghasilkan output barang dan jasa dengan lebih banyak dan barang dan jasa dijual pada harga yang lebih tinggi). Khususnya, mereka ingin suatu ukuran jumlah barang dan jasa keseluruhan yang diproduksi perekonomian yang tidak terpengaruh perubahan harga barang dan jasa tersebut (Mankiw,2006:14).
Untuk mendapatkan ukuran dari jumlah produksi yang tidak dipengaruhi oleh perubahan harga, kita menggunakan GDP riil (real GDP) yang menilai produksi barang dan jasa pada harga tetap. GDP riil menggunakan harga tahun pokok yang tetap untuk menentukan nilai produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Karena GDP riil tidak dipengaruhi perubahan harga, perubahan GDP riil hanya mencerminkan perubahan jumlah barang dan jasa yang diproduksi. Jadi, GDP riil merupakan ukuran produksi barang dan jasa dalam perekonomian(Mankiw,2006:15-16). Selain GDP riil, alat ukur yang lain yaitu GDP nominal. GDP nominal mengukur produksi barang dan jasa yang dinilai dengan harga – harga di masa sekarang. GDP nominal dalam perhitungannya dipengaruhi kenaikan jumlah barang atau jasa yang diproduksi dan juga kenaikan harga barang atau jasa tersebut. Dari kedua statistika ini kita dapat mengetahui statistika yang ketiga , deflator GDP, yang mencerminkan harga barang dan jasa namun bukan jumlah yang diproduksi. Deflator GDP mengukur tingkat harga – harga saat ini relatif terhadap tingkat harga – harga di tahun pokok. Deflator GDP merupakan salah satu ukuran yang digunakan oleh para 16 ekonom untuk mengamati rata – rata tingkat harga dalam perekonomian(Mankiw,2006:17).
Pada bahasan yang terakhir, yaitu hubungan GDP dengan kesejahteraan dapat dijelaskan sebagai berikut. GDP dapat mengukur total pendapatan maupun total pengeluaran perekonomian untuk barang dan jasa. Jadi, GDP per orang (kapita) memberi tahu kita pendapatan dan pengeluaran dari rata – rata seseorang dalam perekonomian. Karena kebanyakan orang lebih memilih pendapatan dan pengeluaran yang lebih tinggi, GDP per orang (kapita) sepertinya merupakan ukuran kesejahteraan rata – rata perorangan yang cukup alamiah. GDP per kapita memberitahukan kita apa yang terjadi pada rata – rata penduduk, namun di belakang rata – rata tersebut terdapat perbedaan yang besar antara berbagai pengalaman yang dialami orang – orang. Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa GDP merupakan ukuran kesejahteraan yang baik untuk berbagai tujuan, namun tidak untuk semua tujuan(Mankiw,2006:19-22).
Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Struktur Ekonomi
            Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi di suatu negara. Kemiskinan merupakan salah satu contoh dari akibat tidak adanya pertumbuhan ekonomi di negara.
            Pertumbuhan ekonomi bisa bersumber dari perubahan atau pertumbuhan pada sisi permintaan agaregat (aggregate demand) dan sisi penawaran agregat (aggregate supply). Sepeti yang di ilustrasikan pada gambar 3.1, titik perpotongan antara kurva permintaan agregat (AD) dan kurva penawaran agregat (AS) disebut suatu titik keseimbangan ekonomi yang menghasilkan suatu jumlah output agregat tertentu dan suatu tingkat harga umum tertentu. Output agregat yang dihasilkan di dalam suatu ekonomi (atau negara) disebut produk domestik bruto (PDB) yang selanjutnya membentuk pendapatan nasional. Apabila pada periode awal (t = 0) output adalah  , maka yang di maskud dengan pertumbuhan ekonomi adalah apabila pada periode berikutnya output = . Melalui analisis gambar bisa dilihat bahwa pertumbuhan tersebut bisa disebabkan oleh pergeseran kurva penawaran () (bagian A) atau pergeseran kurva permintaan () (bagian B).
a. Sisi Permintaan Agregat
            Dari sisi permintaan agregat, pergeseran kurva AD ke kanan yang mencerminkan permintaan di dalam ekonomi meningkat bisa terjadi karena pendapatan agregat yang terdiri atas permintaan masyarakat (konsumen), perusahaan, dan pemerintahan meningkat. Sisi permintaan agregat (atau penggunaan PDB) terdiri atas empat komponen, yakni konsumsi rumah tangga (C), investasi domestik bruto (atau pembentukan modal tetap dan perubahan stok) dari sektor swasta dan pemerintah (), konsumsi atau pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor neto, yaitu ekspor barang dan jasa (X) minus impor barang dan jasa (M).
b. Sisi Penawaran Agregat
          Ada dua kelompok teori mengenai pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi penawaran agregat produksi, yakni kelompok teori neoklasik dan kelompok teori modern. Dalam kelompok teori neoklasik, faktor - faktor produksi yang dianggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan output adalah jumlah tenaga kerja dan kapital.
            Sedangkan dalam kelompok teori modern, faktor - faktor produksi yang dianggap sama krusialnya tidak hanya tenaga kerja dan modal, tetapi juga perubahan teknologi (yang terkandung di dalam barang modal), energi, kewirausahaan (entrepreneurship), bahan baku, dan material atau input lainnya di anggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah ketersediaan dan kondisi infrastruktur, hukum serta peraturan (the rule of law), stabilitas politik, kebijakan pemerintah (yang antara lain dicerminkan oleh besarnya pengeluaran pemerintah), birokrasi, dan dasar tukar internasional (terms of trade). Perbedaan yang mendasar dengan kelompok teori neoklasik. Di antaranya adalah yang mencakup tenaga kerja, kapital (barang modal), dan kewirausahaan.
Perubahan Struktur Ekonomi
          Pembangunan ekonomi biasanya di susul kemudian oleh suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Banyak negara berkembang (LDCs) dalam 30 tahun belakangan ini telah mengalami suatu transisi ekonomi, walaupun prosesnya berbeda 1, tegantung terutama pada kondisi awal ekonomi masing - masing. Perubahan struktur ekonomi ini dapat dilihat pada perubahan pangsa output dari setiap sektor di dalam pembentukan PDB.
            Perubahan struktur ekonomi terjadi akibat perubahan dari sejumlah faktor, bisa hanya berasal dari sisi permintaan agregat atau sisi penawaran agregat atau dari kedua sisi pada waktu yang bersamaan. Dari sisi permintaan agregat, faktor yang sangat dominan adalah peingkatan tingkat pendapatan masyrakat yang membuat perubahan dalam selera masyarakat dan komposisi barang - barang yang di konsumsi, sedangkan dari sisi penawaran agregat, faktor – faktor utama adalah perubahan teknologi dan penemuan material – material baru untuk produksi yang semua ini memungkinkan untuk melakukan inovasi atau membuat barang – barang baru. Salah satu contoh aktual adalah dalam penemuan personal computer, handphone, dan alat komunikasi lainnya. Dari sisi penawaran juga di akibatkan oleh relokasi dana investasi dan resources utama lainnya, termasuk teknologi dan tenaga kerja dari satu sektor yang kurang produktif (misalnya pertanian) ke sektor yang lain yang lebih produktif (Industri).
            Secara garis besar, sumber – sumber yang mendorong terjadinya suatu proses perubahan struktur ekonomi dapat dibedakan antara, di satu pihak, sisi permintaan agregat, sisi penawaran agregat, dan di pihak lain, antara (Domestik), dan eksternal (Dunia).
Pertumbuhan Ekonomi Selama Orde Baru Hingga Sekarang
Orde baru memiliki perhatian kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Orde baru menjalin kerjasama dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Sebelum melakukan pembangunan Repelita, dilakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran kebijakan terutama untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada Orde Lama. Penyusunan rencana Pelita secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara negara Barat.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru: meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalamskala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Terjadi perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia selama masa Orde Baru jika dilihat dari perubahan pangsa PDB (Produk Domestik Bruto), terutama dari sektor industri. Kontribusi sektor industri sekitar 8% (1960) menjadi 12% (1983). Hal ini menunjukkan terjadinya proses industrialisasi atau transformasi ekonomi dari Negara agraris menuju semiindustri. Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat pada paruh dekade 80-an, di mana pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi di sektor moneter maupun riil dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Deregulasi menyebabkan terjadinya pergeseran dari semula tersentralisasi menjadi desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar. Pada level meso (tengah) dan mikro, pembangunan tidak terlalu berhasil : jumlah kemiskinan tinggi, kesenjangan ekonomi meningkat di akhir 90-an. Secara umum dalam Orde Baru terjadi perubahan orientasi kebijakan ekonomi yang semula bersifat tertutup di Orde Lama menjadi terbuka pada Orde Baru.
Perkembangan ekonomi masa Orde Baru lebih baik dari Orde Lama disebabkan oleh beberapa faktor:
  1. Kemauan Politik yang kuat dari pemerintah untuk melakukan pembangunan atau melakukan perubahan kondisi ekonomi. 
  2. Stabilitas politik dan ekonomi yang lebih baik daripada masa Orde Lama. Pemerintah Orde Baru berhasil menekan inflasi. Mereka juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok masyarakat serta meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
  3. Sumber daya manusia yang lebih baik. SDM di masa ORBA memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
  4. Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, PMA dan transfer teknologi serta ilmu pengetahuan.
  5. Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik. Selain terjadi oil boom (tingkat produksi minyak dan harganya yang meningkat), juga kondisi ekonomi dan politik dunia pada era ORBA khususnya setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa ORLA.
Pemerintahan Transisi, ciri-cirinya :
Diawali dengan melemahnya nilai tukar baht Thailand terhadap USD pada Mei 1997, sehingga para investor mengambil keputusan jual baht untuk beli USD. Melemahnya baht merambah sampai ke mata uang Asia lainnya (Ringgit Malaysia hingga Rupiah). Hal ini menyebabkan terjadinya krisis keuangan di Asia. Nilai tukar Rupiah terus melemah terhadap USD, pemerintah melakukan intervensi dengan memperluas rentang intervensi. Namun hal itu tidak banyak membantu pemulihan nilai tukar rupiah thd USD. Pada Oktober 1997, pemerintah memutuskan meminta bantuan keuangan pada IMF. Paket bantuan I sebesar USD 40 Milyar diturunkan pada akhir Okt 1997. Bantuan tersebut diikuti dengan persyaratan penutupan atau pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Setelah paket bantuan, justru nilai tukar Rp semakin melemah. Akhirnya pemerintah membuat kesepakatan dengan IMF dalam bentuk Letter of Intent (LoI) pada Januari 1998. LoI berisi 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural. Di bidang fiskal : penegasan penggunaan prinsip anggaran berimbang pada APBN, usaha pengurangan pengeluaran pemerintah (menghilangkan subsidi BBM dan listrik), membatalkan sejumlah proyek infrastruktur yang besar, serta peningkatan pendapatan pemerintah. Setelah gagal dengan kesepakatan pertama, dibuat lagi kesepakatan baru pada Maret 1998 dengan nama Memorandum Tambahan tentang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MTKEK). Memorandum tambahan itu antara lain: Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah inflasi. Restrukturisasi perbankan dengan tujuan untuk menyehatkan perbankan nasional. Reformasi struktural dalam perekonomian. Penyelesaian utang luar negeri swasta dengan melibatkan pemerintah. Bantuan untuk rakyat kecil sebagai kompensasi penurunan subsidi BBM dan listrik.
Pada periode ini masih dipimpin oleh Soeharto, namun pada akhir Mei 1998, terjadi gerakan mahasiswa untuk menurunkannya. Soeharto kemudian digantikan oleh Habibie yang merupakan awal terbentuknya pemerintahan transisi. Disebut dengan transisi karena seharusnya melakukan perubahan (reformasi) terhadap apa yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, tetapi ternyata pemerintahan yang baru ini masih dianggap bagian dari gaya Orde Baru dan tidak ada perubahan yang nyata dalam perekonomian.
Periode Orde Reformasi: Periode 1998-Sekarang
Pemerintahan presiden BJ.Habibie
Pemerintahan presiden BJ.Habibie Yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalanpersoalan ekonomi antara lain :
a)      Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)      Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatankekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, danmengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan controversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undangundang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Faktor-faktor Penentu Prospek Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Ada beberapa faktor ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Faktor ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan.
Sumber daya alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang dan hasil laut sangat memengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi). Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada. Sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.
Perubahan Struktur Ekonomi
Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan pertumbuhan PDB akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non-primer. Khususnya industry manufaktur dengan increasing returns to scale relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas yang dinamis sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan dapat dilihat sebagai suatu hipotesis, bahwa semakin tinggi nlaju pertumbuhan ekonomi yang membuat semakin tinggi pendapatan masyarakat per kapita, maka semakin cepat perubahan struktur ekonomi. Dengan asumsi faktor-faktor penentu lain yang mendukung proses tersebut. Seperti manusia, tenaga kerja, bahan baku dan teknologi yang tersedia.
Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi pada dasarnya disebut transformasi structural dan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang terkait satu dengan yang lainnya dalam kompesisi permintaan agrerat produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. (Chenery, 1979)
Beberapa Teori
Teori perubahan structural menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh NB. Yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern dan didominasi oleh sektor-sektor non-prmer. Ada dua teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi yaitu dari Arthur Lewis (teori migrasi) dan Horris Chenery (teori transformasi structural)
Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan ekonomi yang terjadi di pedesaan dan perkotaan. Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu Negara pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang didominasi oleh sektor pertanian dan perekonomian modern di perkotaan dengan industry sebagai sektor utama.
Kerangka pemikiran teori Chenery pada dasarnya sama seperti model Lewis. Teori Chenery dikenal dengan teori pola pembangunan, memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses pertumbuhan ekonomi di NB, yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional(subsistem) ke sektor industry sebagai mesin utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Chenery dan Syrquin (1975) mengidentifikasikan bahwa sejalan dengan peningkatan  pendapatan masyarakat perkapita yang membawa perubahan dalam pola permintaan konsumen dan penekanan pada makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lain ke berbagai macam barang-barang manufaktur dan jasa, akumulasi modal fisik dan manusia (SDM), perkembangan kota-kota dan industri-industri di urban bersamaan dengan proses migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan dan penurunan laju pertumbuhan penduduk dan ukuran keluarga yang semakin kecil, struktur perekonomian suatu Negara bergeser dari yang semula didominasi oleh pertanian dan sektor pertambangan menjadi sektor-sektor non-primer, khususnya industri.

Intinya adalah, dalam perubahan struktur ekonomi atau proses transformasi ekonomi bersamaan dengan peningkatan pendapatan nasional rata-rata perkapita  yang selanjutnya merubah selera konsumen/masyarakat, yang didorong oleh kemajuan teknologi dan peningkatan kualitas SDM, kontribusi sektor-sektor primer terhadap pembentukan PDB secara relative berkurang dedangkan kontribusi sektor-sektor sekunder dan tersier meningkat terus. Perubahan distribusi PDB menurut sektor atau pergeseran dari sektor-sektor primer ke sektor non-primer semakin cepat didorong oleh perpindahan atau realokasi faktor-faktor produksi seperti modal dan tenaga kerja dari kelompok sektor-sektor pertama tersebut ke kelompok sektor-sektor kedua itu. realokasi tersebut dipicu oleh perbedaan harga, profit, dan upah riin antara sktor-sektor primer yang lebih rendah dengan sektor-sektor non-primer yang lebih tinggi. Karna profit di sektor-sektor non-primer lebih tinggi dibandingkan di sektor-sektor primer, maka terjadi akumulasi modal yang pesat dim kelompok sektor kedua tersebut.
Sumber:
TH Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia Analisis dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia

TH Tambunan, Tulus. 2002. Perekonomian Indonesia. Beberapa Isu Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia

Taking a Look into Indonesia's Public Debt to GDP Ratio

Dhea Oktavianda (21215807)
Tiara Fahlevie (26215886)


Indonesia's public debt - as a percentage of the nation's gross domestic product (GDP) - currently stands at 27 percent, or roughly IDR 3,200 trillion (approx. USD $241 billion). This debt is manageable and actually quite low compared to other key emerging economies or advanced economies. For example, Malaysia's and Brazil's public debt-to-GDP ratios reached 56 percent and 70 percent, respectively. Meanwhile, the ratios of the USA and Japan stand at 105 percent and 246 percent, respectively. However, the level of debt is not that important. The important question is how is this debt used?

Indonesia's public debt situation looks safe and manageable. With the nation's GDP at IDR 11,540 trillion (approx. USD $868 billion) at the end of 2015 and total public debt at IDR 3,196.6 trillion (approx. USD $240 billion) Indonesia has a public debt-to-GDP ratio of 27 percent. This figure is well below the lawfully maximum allowed ratio of 60 percent (since the Asian Financial Crisis rocked Indonesia's financial system in the late 1990s the country has been conducting prudent fiscal management).

About USD $143 billion of Indonesia's public debt is foreign debt. The nation's largest creditors being the World Bank, Japan and the Asian Development Bank (ADB). Regarding domestic debt - in the form of bonds (IDR 1,517 trillion) - about 39 percent is in the hands of foreign investors. This rather large chunk of Indonesia's debt paper being in foreign hands makes the country vulnerable to global shocks. In times of global shocks global investors are usually quick to dump riskier (yet higher yielding) emerging market assets.

Scenaider Siahaan, ‎Risk Manager at Indonesia's Ministry of Finance, says Indonesia's debt situation is safe and highly manageable. However, he also informed that the Indonesian government may issue new debt paper this year in a bid to finance the state budget as tax revenue is expected to be much lower-than-expected (particularly after deliberations on the Tax Amnesty Bill were postponed by Indonesia's House of Representatives). In 2016 Indonesia's budget deficit is targeted at 2.15 percent of GDP. However, given weak tax revenue and the looming issuance of more debt paper, this ratio is expected to rise (closer to the maximum 3 percent of GDP cap that is stipulated by a 2003 law). Besides bonds, the state budget will also be financed through foreign loans and the accumulated Budget Surplus (in Indonesian: Sisa Anggaran Lebih). Up to 4 April 2016 the Indonesian government has issued IDR 262.4 trillion of bonds, or 47 percent of the full-year target.
Although there exists a negative connotation regarding debt, it can actually be a very useful tool for the benefit of the wider economy. When debt is used for structural investment that generates future revenue streams, then (prudent) debt-creation is a good monetary strategy. As such, the public debt-to-GDP ratio is an important indicator as it informs to what extent the country is capable of meeting its debt obligations. But, on the other hand, a high ratio (for example above 100 percent of GDP) does not necessarily imply an economy is in trouble. It all depends on how debt is used. Before Indonesian President Joko Widodo, who was inaugurated as Indonesia's seventh president in late 2014, largely scrapped fuel subsidies in 2015 the government used a large chunk of debt to finance fuel consumption. This was an example of wrong utilization of public debt that brings few long-term benefits.

Debt-to-GDP Ratio of Selected Countries:
Country
Dept-to-GDP
Indonesia
27%
Turkey
32%
Philippines
36%
Australia
36%
Thailand
44%
Malaysia
56%
Brazil
70%
United States
105%
Italy
133%
Japan
246%
 Source: Investor Daily


Carmelita Hartoto, Chairwoman of the Indonesian National Ship owners Association (INSA), said still not all debt is currently being used effectively by the Indonesian government. Part of debt is used for routine expenditures such as officials' salaries that will not bring a multiplier effect. When debt is used for consumption only (implying no, or few, new future revenue streams) then the wider economy will not feel the positive impact and what remains is the debt obligation.
Indef Economist Eko Listiyanto emphasizes the importance for the government to optimize the utilization of debt especially for productive investment in infrastructure (which causes a multiplier effect in the economy and reduces the country's notoriously high logistics costs hence improving the investment and business climate). Listiyanto added that it would be better for the government to raise the portion of domestic debt through bonds rather than seeking multilateral or bilateral foreign loans (to avoid creditors being able to dictate what the loan is used for).
Macro Economics Indicators of Indonesia:
2011
2012
2013
2014
2015
Gross Domestic Product1
(Annual Percent Change)
6.2
6.0
5.6
5.0
4.8
Gross Domestic Product
(in IDR Trillion)
7,832
8,616
9,525
10,543
11,541
Public Debt
(Percent of GDP)
23
23
25
25
27
Current Account Balance
(Percent  of GDP)
0.2
-2.8
-3.3
-3.1
-2.1
Foreign Exchange Reserves
(in Billion USD)
110.1
112.8
99.4
111.9
105.9
¹ Statistics Indonesia (BPS) shifted the basis of the computation from the year 2000 to 2010 and adopted a significantly updated methodology, hence GDP growth results between 2010 and 2014 have been revised in early 2015
Sources: World Bank, Statistics Indonesia, Bank Indonesia and International Monetary Fund (IMF)
Economist Fadhil Hasan also stressed the importance of using debt to finance infrastructure development across the archipelago. However, despite Indonesia's modest public debt-to-GDP ratio, he says it would be better if the government can curtail debt in order to avoid future shocks. It would be better for the government not to be addicted to debt but focus on raising tax revenues (Indonesia currently still has one of the world's lowest tax-to-GDP ratios).
Meanwhile, Kenta Institute Economist Eric Sugandi expects Indonesia's budget deficit to rise to 2.55 percent of GDP in 2016. He is not so much concerned about government debt. What is more worrying is Indonesia's private sector debt (which currently stands around USD $165 billion).
Analysis: Indonesia's debt-to-GDP ratio is still lower when compared to neighboring country. Just like the Philippines and Australia, each by 36 percent, Malaysia 56 percent, and Thailand's by 44 percent. In fact, it is still very far below the US and Japan, the ratio of debt to GDP is more than 100 percent. The amount of debt to GDP ratio cannot be taken as an indicator that a country will be collapse. The condition is exacerbated by inaction in the realization of government spending. Various reasons are disclosed, ranging from concerns about the threat of corruption to the organization of the elections simultaneously. Although there can be a motivating factor of strong growth, government spending is expected to hold at least a reduction in the rate of economic growth.
The pressure began to spread within certain limits will force the government began to use foreign debt as a source of payment of debt obligations maturing. If this happens we actually have entered the category of countries caught up in foreign debt.
Lessons from various countries, that are able to reduce the negative impact of the economic crisis is the country that has the capacity institutionally well. But somehow, the government seems more interested in instant strategies and quantitative targets is prestigious. If this continues, in the very near future the Government will be forced to pay the debt, because it seems the export performance will not be improved in a short time.






News from http://www.indonesia-investments.com posted on April, 5th 2016. Access on April, 19th 2016 8:40 PM
 

Catatan Kecil Template by Ipietoon Cute Blog Design