Senin, 01 Mei 2017

HUKUM DAGANG

PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

1.      PENGERTIAN HUKUM
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting  dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,  Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.

2.      TUJUAN HUKUM
Dalam beberapa literatur Ilmu Hukum para sarjana hukum telah merumuskan tujuan hukum dari berbagai sudut pandang, dan paling tidak ada 3 teori:
1.      Teori etis
Teori etis pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, Menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan demi keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan etis kita mana yang adil dan mana yang tidak. Artinya hukum menurut teori ini bertujuan mewujudkan keadilan.
2.      Teori Utilitis
Menurut teori ini hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan kebahagiaan. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduction to the morals and legislation”. Pendapat ini dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan aspek keadilan.
3.      Teori Campuran
Menurut Apeldoorn tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat yang teratur dan damai.

3. HUKUM DAGANG

Dagang adalah keseluruhan aturan hukum yang berlaku dalam lalu lintas perdagangan atau dunia usaha yang bersumber dari aturan hukum yang telah dikodifikasikan maupun yang ada diluar kodifikasi. Dari pengertian hukum dagang tersebut dapat diketahui bahwa sumber dari hukum dagang berasal dari aturan hukum yang telah dikodifikasi dan adapula yang di luar kodifikasi.

Sumber hukum dagang Indonesia yang telah dikodifikasi adalah:

A.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
KUH Perdata terbagi atas 4 (empat) buku/kitab, yaitu Buku I mengatur tentang Orang (van Personen), Buku II mengatur tentang Benda (van Zaken), Buku III mengatur tentang Perikatan (van Verbintenissen), dan Buku IV mengatur tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa (van Bewijs en Verjaring). Bagian dari KUH Perdata yang mengatur tentang Hukum Dagang ialah Buku III dan sebagian kecil dari Buku II.

B.     Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),
KUHD terbagi atas 2 (dua) buku/kitab dan 23 (dua puluh tiga) bab. Buku I terrdiri dari 10(sepuluh) bab dan Buku II terdiri dari 13 (tiga belas) bab. Isi pokok dari KUHD adalah sebagi berikut:

1. Buku I tentang Dagang Umumnya:
Bab I               :Pasal 2, 3, 4, dan 5 dihapuskan.
Bab II              :Tentang pemegangan buku (Pasal 6 tidak berlaku lagi).
Bab III            :Tentang beberapa jenis perseroan.
Bab IV            :Tentang bursa dagang, makelar, dan kasir.
Bab V           :Tentang komisioner, ekspeditor, pengangkut, dan tentang juragan-juragan                         perahu yang melalui sungai dan perairan darat.
Bab VI           :Tentang surat wesel dan surat order.
Bab VII           :Tentang cek, tentang promes, dan kuitansi kepada pembawa (aan toonder).
Bab VIII         :Tentang reklame atau penuntutan kembali dalam hal kepailitan.
Bab IX            :Tentang asuransi dan pertanggungan seumumnya.
Bab X           :Tentang pertanggungan terhadap bahayakebakaran, bahaya yang mengancam                    hasil-hasil pertanian yang belum dipenuhi, dan pertanggungan jiwa.

4. Hukum Hutang Piutang
Hutang piutang yang lazim dikenal dalam dunia usaha timbul dari adanya suatu perikatan dan sebagaimana kita ketahui perikatan itu dapat timbul dari Perjanjian dan Undang-undang (vide Pasal 1233 KUHPerdata):
Definisi perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih

Pengertian utang piutang sama dengan perjanjian pinjam yang dijumpai dalam kitab Undang-Undang hokum Perdata pasal 1721 yang berbunyi: “ pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang tertentu dan habis pemakaian dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengemballikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula”
Dari perjanjian hutang piutang ini timbulah prestasi dan kontra prestasi yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak berdasarkan kesepakatan. Jika salah satu pihak melanggar perjanjian dan atau melaksanakannya dengan tidak sempurna, maka pihak yang dirugikan akan perbuatannya tersebut dapat memilih untuk memaksa pihak lain untuk meneruskan perjanjian tersebut, atau meminta pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga (vide Pasal 1267 KUHPerdata).
Dalam suasana hukum adat, hukum hutang piutang atau hukum perutangan merupakan kaidah-kaidah atau norma-norma yang mengatur hak-hak anggota-anggota persekutuan atas benda-benda yang bukan tanah. Hak-hak tersebut ditandaskan dalam hukum perseorangan sebagai hak milik. Pada umumnya persekutuan tidak dapat menghalangi hak-hak perseorangan sepanjang hak-hak tersebut mengeani benda-benda yang bukan tanah.
Dalam adat hukum hutang piutang tidak hanya meliputi atau mengatur perbuatanperbuatan hukum yang menyangkutkan masalah perkreditan perseorangan saja, tetapi juga masalah yang menyangkut tentang :
1.    hak atas perumahan, tumbuh-tumbuhan, ternak dan barang.
2.    sumbang menyumbang, sambat sinambat, tolong menolong
3.    panjer4.    kredit perseorangan.

5. HUKUM KONTRAK KERJASAMA
Ø  PERJANJIAN PADA UMUMNYA
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.

Ø  Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
1.      Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
2.      Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Ø  Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1.      Sepakat, mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
2.      Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut  hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang  oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.  Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni, Orang yang belum dewasa. Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:

(i)           Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
(ii)          Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
·         Mereka yang berada di bawah pengampuan.
·         Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
·         Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu
Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian  haruslah berdasarkan                  hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan  ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan  syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.




 

Catatan Kecil Template by Ipietoon Cute Blog Design